Sejatinya Manusia



Sejatinya Manusia 

Di dalam ilmu kebatinan spiritual yang dalam, orang akan sampai pada upaya menyingkap tabir rahasia kehidupan, rahasia kehidupan lain selain kehidupan manusia, rahasia asal-usul manusia dan alam semesta, rahasia kehidupan di alam ini dan rahasia kehidupan di alam sesudah kematian, dsb. Jawaban dari satu pertanyaan akan menjadi penuntun kepada jawaban pertanyaan yang lain.

Di dalam kebatinan kejawen, ada banyak penghayatan mengenai kesejatian diri manusia dan keTuhanan yang semuanya saling terkait dan menjadi satu kesatuan, yang jika salah satunya dihilangkan, maka konsep-konsep tersebut secara keseluruhan akan menjadi tidak berdasar. Konsep-konsep itu antara lain adalah Sukma Sejati, Sangkan Paraning Dumadi (hakekat kesejatian manusia), mengenai siapa sebenarnya manusia itu, darimana berasal dan akan kemana setelah kehidupan di dunia ini. Konsep itu terkait dengan konsep dasar tentang Tuhan yang penghayatannya diamalkan dalam hidup keseharian masyarakat jawa menjadi konsep Manunggaling Kawula Lan Gusti.

Ajaran-ajaran di atas dimaksudkan agar manusia setelah kematiannya rohnya tidak tersesat ke alam rendah, tetapi dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Bersatunya kembali manusia dengan Tuhan inilah yang disebut dengan ”kasampurnan” (kesempurnaan). Secara umum penghayatan ajaran ini telah dilakukan dalam keseharian manusia jawa, sehingga banyak laku-laku prihatin, tirakat dan ritual yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat jawa untuk membersihkan hati dan batin, untuk menyelaraskan diri dengan alam dan Tuhan, dan supaya hidupnya keberkahan, yang pada jaman sekarang ini laku-laku itu sering dikonotasikan sebagai klenik, mitos dan tahayul. 

Dalam filosofi kebatinan itu pertanyaan yang ingin dijawab adalah :

Siapakah Aku?   Siapakah Sejatinya Aku?   Siapakah Sejatinya Manusia?

Pertanyaan di atas, bila dilemparkan kepada umum, ada yang menjawab secara filosofi kebatinan spiritual, ada yang menjawab secara keagamaan, ada yang menjawab secara logika filsafat, ada juga yang memiliki jawaban sendiri secara pribadi. Jawaban dari pertanyaan di atas bermacam-macam, tergantung sudut pandang masing-masing orang dalam menjawabnya. Dan semua perbedaan jawaban haruslah dimaklumi secara bijaksana, karena segala sesuatunya dipengaruhi oleh cara pandang manusia, sikap berpikir manusia, dan kebijaksanaan masing-masing orang dalam mengungkapkan kebenaran.

Manusia, sesuai kodrat dan hakekatnya, adalah mahluk duniawi sekaligus juga adalah mahluk illahi.

Sebagai mahluk duniawi,  manusia harus menjalani kehidupannya sebagai mahluk duniawi yang membutuhkan segala sesuatu yang bersifat duniawi untuk kehidupannya, dan menjalankan semua aturan dan kewajiban dalam hidupnya sebagai mahluk duniawi.

Sebagai mahluk illahi,  manusia akan kembali ke asalnya, yaitu Sang Pencipta Hidup.
Apa yang berasal dari bawah akan kembali ke bawah, yang berasal dari atas akan kembali ke atas. Untuk membekali dirinya ketika kembali kepada Sang Pencipta, manusia harus memenuhi semua "persyaratan" yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta selama hidupnya di dunia, supaya sekembalinya nanti manusia layak dan dapat diterimaNya.

Dengan demikian selama hidupnya manusia harus menjalani hidupnya sebagai mahluk duniawi sekaligus juga menyelaraskan dirinya dengan keillahiannya. Apa yang menjadi kewajibannya sebagai mahluk duniawi harus dijalankan, apa yang menjadi kewajibannya sebagai mahluk illahi juga harus dipenuhi.

Itulah sejatinya manusia,  yaitu kodrat dan hakekatnya manusia sesuai tujuan awal penciptaan manusia.
Kodrat dan hakekat sebagai mahluk duniawi dan mahluk illahi menyatu di dalam diri manusia, tidak boleh dipisahkan.

Itulah kodrat manusia yang pertama dan yang utama. 

Kodrat itu harus didahulukan dalam kehidupan manusia, tidak boleh di-nomor dua-kan atau di-nomor tiga-kan.
Sedangkan kodrat lain seperti jenis kelamin laki-laki atau perempuan, kebutuhan hidup berpasangan, berkeluarga dan berketurunan, dsb, adalah kodrat yang kesekian. Jangan dijadikan kodrat yang utama dan jangan dipaksakan untuk diutamakan.

Sesuai kodrat dan hakekatnya sebagai mahluk duniawi dan illahi, sesuai tujuan awal penciptaan manusia, manusia dibekali dengan akal budi dan roh, bukan hanya insting dan naluri untuk hidup dan bertahan hidup (hewan), sehingga manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal perbuatan baik dan tidak baik, mengenal peradaban dan mengenal Tuhan yang harus disembah. Dengan rohnya, manusia mengenal roh-roh lain dan kegaiban, dan mengenal Tuhan, suatu pribadi agung yang berkuasa bukan hanya atas dirinya dan hidupnya, tetapi juga atas kehidupan seluruh alam, walaupun dalam niatan menyembah Tuhan banyak manusia yang jatuh ke jalan penyembahan yang salah.

Dengan demikian manusia dapat mengenal jalan hidup yang berkenan di hati Tuhan, yaitu hidup sebagai mahluk duniawi yang mengenal perbuatan baik dan tidak baik, berperadaban, dan hidup sebagai mahluk illahi yang mengenal Allah, bermoral dan berbudi pekerti. Ada banyak contoh manusia dan peradaban yang dibinasakan Tuhan karena perilaku hidup mereka tidak berkenan bagi Tuhan, manusia-manusia yang mengedepankan hidupnya sebagai mahluk duniawi dan mengesampingkan kualitas hidup yang bermoral dan berbudi pekerti, sikap hidup yang tidak mencerminkan kehidupan mahluk yang mengenal Allah.

Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas secara implisit telah dimengerti oleh orang-orang di dunia spiritual dan juga sudah diungkapkan secara implisit dalam ajaran agama-agama formal dan aliran-aliran kepercayaan. Tetapi sayangnya walaupun sudah diungkapkan secara umum, dan sudah dimengerti, tetapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting, karena tidak banyak manusia yang mengutamakan mengimani sisi kebatinannya, termasuk mengimani sisi kebatinan dalam beragama. Walaupun begitu tetap saja pengetahuan ini berguna bagi orang-orang yang percaya dan mengimaninya, terutama mereka yang mengimani kebenarannya dan kebijaksanaannya mengisi kehidupan mereka, yang bukan sekedar percaya dan meng-iya-kan saja.

Banyak manusia lebih mengedepankan aspek manusia duniawi - nya dalam kehidupan sehari-harinya. Sisi ke-Aku-annya, yaitu tentang status seseorang di masyarakat dan kepemilikan duniawi, banyak dijadikan lambang simbol kesempurnaan hidup manusia.
Apalah artinya seseorang berkelimpahan duniawi, atau bahkan memiliki seluruh dunia, kalau akhirnya dia pun harus kehilangan nyawanya ? 
Bukankah mereka yang pernah jaya dan kaya, atau menjadi penguasa dunia, akhirnya pun mati juga ?
Apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya itu ?

Di sisi lain, ada banyak ajaran mengenai ke-illahi-an manusia.
Salah satunya adalah ajaran Manunggaling Kawula Lan Gusti, seperti yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar, atau orang-orang yang sedemikian dalamnya mempelajari ilmu agama / kepercayaan, ajaran-ajaran yang lebih mengedepankan aspek keillahian manusia, kedekatan manusia dengan tujuan hidupnya, Sang Pencipta Hidup, dan menomor-dua-kan aspek keduniawian manusia.
Ajaran ini pun tidak sempurna untuk menggambarkan aspek kodrat manusia sebagai mahluk duniawi sekaligus mahluk illahi.
Apakah dengan ajaran ini manusia ingin mengingkari kodratnya sebagai mahluk duniawi ?
Apakah ajaran ini benar-benar mengantarkan hidup manusia kepada hidup yang dikehendaki oleh Sang Pencipta Hidup ?

Seperti firman Yesus: " Manusia hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi juga dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah ". 

Jadi, penuhilah takaran kita. Jangan sampai didapatiNya timbangan kita ringan.
Hiduplah sesuai sejatinya manusia,  yaitu kodrat dan hakekat manusia sesuai tujuan awal penciptaan manusia. Kodrat dan hakekat sebagai mahluk duniawi dan mahluk illahi yang menyatu di dalam diri manusia tidak boleh dipisahkan. Janganlah yang satu diutamakan, sedangkan yang lain tidak. Ataupun yang satu ditinggalkan, sedangkan yang lain didahulukan.

Ajaran agama selalu mengajarkan keseimbangan hidup. Kehidupan duniawi dan kehidupan illahi.
Bekerja dan berdoa.
Tuhan tidak melarang manusia untuk menjadi kaya, tetapi kekayaan dan hasrat mengejar keduniawian janganlah dijadikan sesuatu yang utama. Jangan juga menjadi ketamakan dan kesombongan. Jangan sampai karena itu manusia jatuh ke dalam jalan kehidupan yang rendah.

Kekayaan, selain untuk diri sendiri, juga sebagian dipersembahkan kepada Tuhan sesuai yang sudah diwajibkan dan berbagi juga untuk orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Kekuasaan, selain untuk diri sendiri, juga untuk menolong orang lain.
Pengetahuan, selain untuk diri sendiri, juga untuk menerangi orang lain.
Dsb.
Semua yang dilakukan manusia dalam hidupnya seharusnya menjadi sarananya untuk memuliakan Tuhan.

Jadi,  hiduplah sempurna sesuai sejatinya manusia.

Banyak perdebatan mengenai pertanyaan di atas. Sekalipun sudah implisit dan eksplisit diungkapkan dalam berbagai ajaran kerohanian dan kepercayaan, dan sering menjadi nasehat sehari-hari, tetapi secara umum orang hanya meng-iya-kan saja, tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang utama dalam hidupnya, tidak mendorong manusia untuk hidup mulia sebagai mahluk duniawi sekaligus mahluk illahi. Banyak manusia yang hanya mengejar kenikmatan dan kehormatan duniawi. Dan sebaliknya, banyak manusia yang lebih mengutamakan sisi kerohanian / agama tapi sedikit berbuat baik untuk keduniawiannya. Dan banyak orang yang hidup penuh dengan pencitraan dan pengkultusan. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sepuh dan bijaksana, apalagi yang sudah sampai pada pengetahuan dan kemampuan untuk membuktikan sendiri kebenarannya. Bagi mereka itu bukanlah sesuatu untuk diperdebatkan, mereka mengimaninya dan sudah menjalankannya dalam kehidupan mereka.
(Baca :  Manunggaling Kawula Lan Gusti ).

Pengetahuan dan keilmuan yang didasarkan pada kesejatian manusia seperti tertulis di atas akan dapat dengan lebih cepat berkembang dan meningkat, karena manusia yang menyadari kesejatiannya akan juga mengenal potensinya sebagai mahluk biologis dan sebagai mahluk roh. Pengetahuan yang tidak diketahui secara fisik manusia akan dapat diketahui secara roh. Dan apa yang sudah diketahui secara roh akan menunjang pengetahuan duniawi manusia.

Dari berbagai sumber