FILOSOFI TUMPENG


FILOSOFI TUMPENG
(Ajaran Sembah Pitu Menurut Para Wali dalam Tradisi Tumpengan)

“Niat ingsun ngedusi badan sukmo ingsun, kang kedadian jumeneng saking cahyo suci,

Gumeleger sukmo ingsun tan keno lali mring Alloh, rogo gemuling sukmo nyanding, ati muji Alloh nggugah, selamet saking kersaning Alloh”

Bagi orang Jawa, menyampaikan maksud yang baik tidak selalu dilakukan dengan bentuk ucapan maupun perbuatan secara fisik, tetapi terkadang disampaikan dalam bentuk simbol-simbol atau sanepan.

Demikianlah kebiasaan bagi orang Jawa, agar para muda dan mudi lantip ing penggalih, tajam nalar dan akal pikirnya serta halus dalam olah rasa. Salah satunya adalah makna dari simbol tumpeng dalam khazanah kebudayaan Jawa.

Para wali pada zaman dahulu kala menyelipkan sebuah pesan moral baik secara vertikal maupun horizontal. Nasi tumpeng yang berbentuk lancip memiliki makna sangat sakral, di dalamnya terkandung maksud dari sebuah kesetiyaan dan pengabdian secara mutlak dan total kepada Allah yang Maha Kuasa. Selain itu terdapat makna penghormaan kepada sesama manusia dalam makna luas.

Sembah pitu, demikianlah ajaran Susuhunan Ing Kalijogo dalam sebuah tumpeng. Sembah pertama adalah dalam makna “Manembah Sujud” secara total kepada Allah SWT, yang dilambangkan dengan pucuking tumpeng dengan simbol berambang dan lombok merah.

Pada tahap yang paling tinggi ini, setiap peribadi manusia atau “ingsun” dalam kondisi kamil mukammil, tidak menghadap kepada selain-Nya, istikomah, jejek, manunggaling kawulo ing Gusti adalah sebuah kewajiban, dalam makna selalu awas lan eleng, ibarat warongko manjing curigo, selalu melihat pada kesejatian hidup dan yang memberi hidup, selalu melakukan “waktasimu bikhablillah” yakni berpegang teguh pada talinya Allah, atau manunggal pada lanjering Urip.

Yang demikian itu sudah sesuai dengan roso ingsun; “Yo koyo mengkono lakuning wajib kanggone poro wali, satuhu manunggal rosoningsun ing dalem kahanan jati, ora owah gingsir sak rambut pinoro pitu, among Alloh kang sinembah lan Maujud, yo kang Murbaing Jagad, yo jagad ingsun sekalir.”

Sembah kedua adalah dalam makna berbakti, yakni berbakti dan menghormati kedua orang tua sebagai piranti Gusti atau kang momong setiap jabang bayi yang dilahirkan di dunia. Sehingga berbakti kepada kedua orang tua atau sungkem adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan setelah “Manembah.”

Sembah ketiga adalah dalam makna hormat, yakni hormat kepada saudara tua. Hal ini dilakukan karena dimungkinkan bagi setiap insan pada masa kecil maupun setelah dewasa mendapatkan kasih sayang dari saudara tua.

Sembah keempat adalah dalam makna berbakti dan hormat kepada wali dan ulama. Hal ini dilakukan karena bimbingan-bimbingan keruhanian dijalankan oleh para orang suci dan merekalah yang memegang warisan para Nabi.

Sembah kelima adalah dalam makna berbakti dan hormat kepada guru, yakni guru sejati dan guru piranti. Hal ini dilakukan karena dari para gurulah setiap insan mendapatkan kawicaksanan, pengarahan dan pendidikan.

Sembah keenam adalah dalam makna hormat yakni hormat kepada seorang pemimpin. Karena dengan adanya seorang pemimpin yang adil keberlangsungan hidup dapat berjalan dengan damai. Selain itu, dengan adnya pemimpin yang adil negara gemahripah loh jinawi dapat terwujud.

Sembah ketujuh adalah dalam makna kasih dan sayang, yakni kasih sayang yang harus kita berikan kepada saudara muda. Hal ini dilakukan karena sudah menjadi sebuah keharusan bagi saudara tua untuk dapat menjadi contoh atau suri tauladan yang baik dalam menjalani hidup. Demikianlah berbagai makna dalam tradisi tumpengan sebagaimana yang dimaksudkan oleh para wali pada zaman dahulu.

Nuwun
Puthut Waskito